
Lumbunginformasi.id Jepara – Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Jepara mulai mencermati munculnya fenomena cuaca ekstrem berskala lokal yang terjadi berulang di kawasan tertentu, terutama wilayah Alun-alun Dua dan Terminal Jepara.
Fenomena tersebut meliputi angin puting beliung, intensitas petir tinggi, hingga meningkatnya kasus diare yang menyerang warga. Kondisi yang berlangsung secara berulang ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah peristiwa tersebut sekadar kebetulan, atau terdapat pola lingkungan yang menjadi pemicunya?
Tim YKLSM J melalui sebuah kajian terbaru menjelaskan, fenomena yang terlihat di permukaan bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri. Pendekatan ilmiah modern memandang kejadian tersebut sebagai hasil interaksi medan alam, tata ruang, dan aktivitas manusia yang mengubah karakter lingkungan, baik secara mikro maupun makro.
Medan Magnet Bumi dan Kondisi Lokal Pesisir
Kajian tersebut mengulas bahwa medan magnet bumi tidak bersifat homogen. Faktor geologi, kandungan mineral, hingga struktur wilayah pesisir memberi pengaruh tersendiri pada dinamika geomagnetik suatu daerah. Jepara sebagai wilayah pesisir memiliki karakter unik—air laut sebagai konduktor alami, interaksi angin laut dan daratan, serta suhu permukaan yang fluktuatif—yang berpotensi memengaruhi distribusi muatan listrik di atmosfer.
Kondisi tersebut dapat meningkatkan kejadian petir dan instabilitas cuaca di area tertentu.
Tata Ruang Perkotaan dan Peningkatan Energi Panas
Lokasi yang tercatat mengalami fenomena ekstrem berada di ruang publik dengan intensitas aktivitas tinggi, seperti alun-alun dan terminal. Kawasan ini identik dengan penggunaan material panas seperti beton dan aspal, tingginya mobilitas kendaraan bermotor, serta minimnya vegetasi peneduh. Kondisi tersebut memicu urban heat island, yang menurut riset global terbukti dapat mengubah sirkulasi udara lokal serta memperkuat tekanan panas atmosfer.
Selain itu, keberadaan struktur logam dan jaringan listrik terbuka di kawasan tersebut meningkatkan konsentrasi muatan listrik lokal, sehingga area rentan terhadap pelepasan energi berupa petir.
Puting Beliung dan Mikroklimat
Fenomena puting beliung juga menjadi salah satu catatan penting dalam beberapa tahun terakhir. Puting beliung kerap disebut sebagai gejala ketidakstabilan atmosfer lokal, terutama ketika udara panas dan lembap bertemu dengan udara lebih dingin. Kajian tata ruang menyebutkan bahwa struktur perkotaan dapat memperkuat turbulensi udara, sehingga angin berputar cenderung muncul secara berulang di titik yang sama.
Gangguan Kesehatan Lingkungan
Selain cuaca ekstrem, meningkatnya kasus diare di wilayah tersebut juga ditelisik sebagai gejala tekanan ekologis. Perubahan suhu dan cuaca ekstrem dapat memengaruhi kualitas air tanah dangkal, terlebih dalam kondisi sanitasi dan drainase yang kurang optimal. Lingkungan yang tidak stabil membuka peluang berkembangnya bakteri patogen penyebab diare, sehingga berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.
Ilmu Pengetahuan dan Kearifan Lokal Beririsan.
Menariknya, kajian ilmiah yang dipaparkan dalam laporan ini sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Nusantara yang memandang ruang publik sebagai bagian dari sistem hidup yang harus dijaga keseimbangannya. Pemahaman ini menempatkan manusia, alam, dan ruang sebagai satu kesatuan ekosistem yang saling memengaruhi.
Rekomendasi Penanganan
Tim YKLSM J menegaskan bahwa fenomena tersebut harus dipahami sebagai sinyal adanya ketidakseimbangan lingkungan. Karena itu, pendekatan terpadu dibutuhkan dalam penanganan, antara lain melalui:
Kajian ilmiah lintas disiplin
Evaluasi tata ruang dan infrastruktur perkotaan
- Penguatan sistem sanitasi dan kualitas lingkungan
- Pengelolaan ruang publik berbasis ekologi dan kesehatan.
- Dengan pendekatan tersebut, pembangunan kota tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi dan fisik, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan serta keselamatan dan kesehatan masyarakat.***
Joko TP
Lumbunginformasi.id Jepara